TEORI KONFLIK

UJANG RUHYAT S

ABSTRAKSI

Conflict theories are perspectives in social science which emphasize the social, political or material inequality of a social group, which critique the broad socio-political sistem, or which otherwise detract from structural functionalism and ideological conservativism. Conflict theories draw attention to power differential, such as social conflict, and generally contrast historically dominant ideologies.

Certain conflict theories set out to highlight the ideological aspects inherent in traditional thought. Whilst many of these perspectives hold parallels, conflict theory does not refer to a unified school of thought, and should not be confused with, for instance, peace and conflict studies, or any other specific theory ofsocial conflict.

Keywords: Conflict Theories, Dominations, Coercions, Powers, Social Classes and Human Society.

 

  1. A.    PENDAHULUAN

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[1] Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Kalr Marx Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]

Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas ploretar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum bourjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]

 

  1. B.     PENGERTIAN TEORI KONFLIK

Teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.

Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan prediksi.

Suatu teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang menyatakan bahwa suatu teori akan dapat diakui jika memenuhi persyaratan. Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila mempunyai paradigma, kerangka pikir, konsep-konsep, variabel, proposisi, dan hubungan antara konsep dan proposisi.

Konflik secara etimologis adalah pertengkaran, perkelahian, perselisihan tentang pendapat atau keinginan; atau perbedaan; pertentangan berlawanan dengan; atau berselisih dengan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik mempunyai arti percekcokan; perselisiah; dan pertentangan.[4] Sedangkan menurut kamus sosiologi konflik bermakna the overt struggle between inthviduals or groups within a society, or between nation states,[5] yakni pertentangan secara terbuka antara individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat atau antara bangsa-bangsa.

Dengan demikian yang dimaksud dengan teori konflik adalah any theory or collection of theories that emphasizes the role of conflict, especially between groups and classes, in human societies [6](beberapa teori atau sekumpulan teori yang menjelaskan tentang peranan konflik, terutama antara kelompok-kelompok dan kelas-kelas dalam kehidupan sosial masyarakat.

 

  1. C.    ASUMSI DASAR TEORI KONFLIK

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.

  1. D.    TOKOH-TOKOH TEORI KONFLIK

Tokoh-tokoh teori konflik terbagi ke dalam dua fase yakni tokoh sosiologi klasik dan tokoh sosiologi modern. Adapun tokoh-tokoh teori konflik sosiologi klasik adalah sebagai berikut:[7]

  1. 1.      Polybus

Polybus lahir pada tahun 167 SM. Teori konflik yang dikemukakan oleh Polybus bertolak dari keinginan manusian membentuk suatu komunitas sehingga teori konflik yang dikemukakan polybus diformulasikan sebagai berikut:

  1. Monarki atau sistem pemerintahan dengan penguasa tunggal adalah kekuasaan terkuat yang merupakan bentuk pertama komunitas manusia.
  2. Transisi dari sistem pemerintahan penguasa tunggal yang didasarkan pada kekuasaan atau kekuatan, kingship (negara dalam sebuah kerajaan) kepada kekuasaan yang didasarkan pada keadilan dan wewenang yang sah.
  3. 2.      Ibnu Khaldun

Nama lengkapnya adalah Abu Zaid ‘Abdul Rahman Ibn Khaldun dilahirkan di Tunisia pada tahun 1332 Masehi. Ibnu Khaldun adalah Sosiolog sejati. Hal ini didasarkan pada pernyataannya tentang beberapa prinsip pokok untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah. Prinsip yang sama juga dijumpai dalam analisis Ibnu Khaldun terhadap timbul dan tenggelamnya Negara-negara.[8]

  1. 3.      Nicolo  Machiavelli

Nicolo Machiavelli adalah seorang berkebangsaan Italia (1469-1527). Menurut Machiavelli pada awalnya manusia hidup liar bagaikan binatang buas, ketika ras manusia semakin meningkat jumlahnya mulai dirasakan kebutuhan akan adanya hubungan dan kebutuhan pertahananan untuk menentang satu dengan yang lainnya dan memilih seseorang yang sangat kuat dan berani untuk dijadikan sebagai pemimpin mereka yang harus dipatuhinya. Kemudian mereka mengenal baik dan buruk dan dapat membedakan mana yang baik dan yang jahat.[9]

  1. 4.      Jean Bodin

Inti pemikiran Jean Bodin pada konsepsi titah kedaulatan sebagai esensi dari masyarakat sipil. Namun demikian, kedaulatan tidak pernah bisa dipisahkan dari prerogative formal. Hukum diperlakukan sebagai titah kedaulatan. Hukum adat dipandang sah apabila didukung oleh kedaulatan, karena kedaulatan memiliki wewenang tak terhingga untuk membuat hukum.[10]

  1. 5.      Thomas Hobbes

Teori konflik yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes adalah bahwa pada dasarnya dorongan utama dari tindakan manusia diformulasikan sebagai berikut: pada tingkatan pertama manusia dengan keinginannya terus-menerus dan kegelisahannya akan kekuasaan setelah berkuasa, artinya rasa ingin berkuasa akan berhenti bilamana sudah masuk liang kubur. Hal ini terwujud dalam dua hal, seorang raja dan problematikanya karena keinginan untuk berkuasa adalah sesuatu hal yang tak pernah mengalami kepuasan.[11]

Adapun tokoh sosiologi modern yang mengemukakan tentang teori konflik adalah sebagai berikut:

  1. 1.      Karl Marx

Karl Marx berpendapat bahwa Konflik kelas diambil sebagai titik sentral dari masyarakat. Konflik antara kaum kapitalis dan proletar adalah sentral di masyarakat. Segala macam konflik mengasumsikan bentuk dari peningkatan konsolidasi terhadap kekacauan. Kaum kapitalis telah mengelompokkan populasi pada segelintir orang saja. Kaum borjuis telah menciptakan kekuatan produktif dari semua generasi dalam sejarah sebelumnya. Tetapi kelas-kelas itu juga berlawanan antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat menjadi terpecah ke dalam dua kelas besar yaitu borjuis dan proletar.

Dasar analisis kalangan marxis adalah konsep kekuatan politik sebagai pembantu terhadap kekuatan kelas dan perjuangan politik sebagai bentuk khusus dari perjuangan kelas. Struktur administratif negara modern adalah sebuah komite yang mengatur urusan sehari-hari kaum borjuis. Sebuah bagian dari produksi umum membuat jalan masa depan bagi konflik-konflik ini. Hal itu memperkirakan bahwa kelas menengah pada akhirnya akan hilang. Pedagang, perajin masuk ke dalam golongan proletar sebab modal kecil tidak dapat bersaing dengan modal besar. Sehingga proletar direkrut dari semua kelas populasi. Perbedaan antara kaum buruh/pekerja kemudian akan terhapus. Kaum pekerja akan memulai bentuk kombinasi. Konflik akan sering muncul di antara dua kelas ini. Kaum buruh memulainya dengan bentuk perlawanan koalisi borjuis agar upah mereka terjaga. Mereka membentuk perkumpulan yang kuat dan dapat memberikan dukungan kepada mereka ketika perjuangan semakin menguat. Bagian dari proletar dengan unsur-unsur pencerahan dan kemajuan, peningkatan potensial secara revolusioner.

  1. 2.      Lewis A. Coser

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.[12] Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan.[13] Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.

Coser[14] Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.

  1. 3.      Ralf Dahrendorf
  • Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi. Segera setelah penampilan karya Coser, seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958).[15] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.

  • Inti Pemikiran

Ralf Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah yakni konflik dan konsensus. Sehingga teori sosiologi harus dibagi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoriritis konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan tersebut. Dahrendorf mengakui bahwa terbentuknya sebuah masyarakat tidak akan terlepas dari adanya dua unsur yakni konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lainnya.[16]

Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak optimis mengenai pengembangan teori sosiologi tunggal yang mencakup kedua proses itu. Dia menyatakan “Mustahil menyatukan teori untuk menerangkan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan filsafat barat”. Untuk menghindarkan dari teori tunggal tersebut, Dahrendorf membangun teori konflik Masyarakat.[17]

Dahrendorf mulai dengan dan sangat dipengaruhi oleh teori fungsionalisme struktural. Ia menyatakan bahwa, menurut fungsionalis, sistem sosial dipersatukan oleh kerja sama sukarela atau oleh konsensus bersama oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik bahwa masyarakat dipersatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis”.

Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan.

Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi; karena itu hanya ada dua kelompok konflik yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu. Di dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan staus quo, sedangkan orang yang berada dalam posisi subordinat berupaya mengadakan perubahan. Konflik kepentingan didalam asosiasi selalu ada sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi. Ini berarti legitimasi otoritas mulai terancam.

Ralf Dahrendorf kemudian memaparkan tentang kelompok, konflik dan perubahan. Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama. Kedua adalah kelompok kepentingan. Ketiga adalah kelompok konflik yang muncul dari berbagai kelompok kepentingan.

Aspek terakhir teori konflik dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dahrendorf mengakui pentingnya pemikiran Lewis A Coser yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik dalam mempertahankan status quo. Akan tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial, konflik juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan.

Singkatnya Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang melakukan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai dengan tindakan kekerasan maka akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba.

 

  1. E.     KRITIK UTAMA DAN UPAYA MENGHADAPINYA

Teori konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan fungsionalisme structural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik juga dikritik karena berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme structural dikritik karena ideology konservatifnya. Bila dibandingkan dengan fungsionalisme structural, teori konflik tergolong tertinggal dalam perkembangannya. Teori ini hamper tak secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan teori turunan.[18]

Teori konflik Dahrendorf menjadi sejumlah analisis kritis. Hasil analisis kritis itu sebagai berikut:

  • Model Dahrendorf tidak secara jelas menjelaskan pemikiran Marxian seperti yang ia nyatakan.
  • Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf lebih banyak persamaannya dengan fungsionalisme struktural dibandingkan dengan teori Marxian.
  • Seperti halnya teori fungsionalisme struktural teori konflik hampir seluruhnya bersifat makroskopik dan akibatnya sedikit sekali untuk kita memahami pemikiran dan tindakan individu.

 

  1. F.     FUNGSI-FUNGSI KONFLIK

Kritik yang dilancarkan terhadap teori konflik dan fungsionalisme struktural maupun kekurangan yang melekat di dalam masing-masing teori itu, menimbulkan beberapa upaya untuk mengatasi masalahnya dengan merekonsiliasi atau mengintegrasikan kedua teori tersebut. Asumsinya adalah bahwa dengan kombinasi maka kedua teori tersebut itu akan menjadi lebih kuat ketimbang masing-masing berdiri sendiri. Karya paling terkenal yang mencoba mengintegrasikan kedua perspektif ini berasal dari Lewis A Coser, The Function of Social Conflict.

Menurut Lewis A. Coser bahwa konflik mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:

1)      Konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang berstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi.

2)      Konflik dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain. Contoh, konflik antara bangsa Arab dan Israel akan menimbulkan aliansi antara Israel dan Amerika Serikat. Sehingga berkurangnya konflik Israel dengan Arab mungkin dapat memperlemah hubungan antara Israel dan Amerika Serikat.

3)      Konflik dapat membantu mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi. Protes terhadap perang Vietnam memotivasi kalangan anak muda untuk pertama kali berperan dalam kehidupan politik di Amerika. Dengan berakhirnya konflik Vietnam muncul kembali semangat apatis dikalangan pemuda Amerika.

4)      Konflik juga dapat membantu fungsi komunikasi. Sebelum konflik, kelompok-kelompok mungkin tidak percaya terhadap posisi musuh mereka, tetapi akibat konflik, posisi dan batas antar kelompok ini sering menjadi diperjelas. Oleh karena itu individu bertambah mampu memutuskan untuk mengambil tindakan yang tepat dalam hubungannya dengan musuh mereka. Konflik juga memungkinkan pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif mereka dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling berdamai.

 

  1. G.    MANAJEMEN KONFLIK

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

Menurut Ross bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.

Fisher menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.

  • Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
  • Penyelesaian Konflikbertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
  • Pengelolaan Konflikbertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
  • Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
  • Transformasi Konflikmengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.

Sementara Minnery menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Minnery juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.

Teori-teori Konflik

Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik adalah:

  • Teori Hubungan Masyarakat

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.

  • Teori Kebutuhan Manusia

Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi.

Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.

  • Teori Negosiasi Prinsip

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.

Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.

  • Teori Identitas

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.

Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.

  • Teori Kesalahpahaman Antarbudaya

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.

Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

  • Teori Transformasi Konflik

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem.

 

  1. H.    KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat dipahami bahwa teori Konflik telah dikemukakan oleh para sosiolog baik oleh sosiolog klasik maupun sosiolog modern. Teori konflik klasik cenderung memandang konflik ditinjau dari segi sifat alami manusia yang cederung saling memusuhi dan saling menguasai terutama dalam hal kekuasaan. Adapun teori konflik modern lebih bersifat kompleks dan muncul sebagai kritikan atas teori fungsionalisme structural. Tokoh yang sangat terkenal dengan teori konflik modern adalah Ralf Dahrendorf.

Namun antara teori konflik dan teori fungsionalisme yang bertolak belakang dalam pemahamannya dicoba untuk dikombinasikan menjadi sebuah gabungan teori yang saling melengkapi. Lewis A Coser adalah salah satu tokoh yang mencoba mempersatukan antara teori konflik dan teori fungsionalisme structural.

Setelah memaparkan tentang teori konflik yang dikemukakan oleh para sosiolog pemakalah mencoba menarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya kehidupan social yang kompleks lebih mudah terjadi berbagai konflik. Konflik-konflik yang bermunculan seperti sebuah hal alamiah yang sudah menjadi kodrat hidup bermasyarakat. Pada akhirnya pemakalah berkesimpulan bahwa sesungguhnya teori-teori konflik yang dikemukakan oleh para sosiolog cenderung bersifat parsial dengan tidak menjelaskan bagaimana agar konflik dalam masyarakat dapat dicegah dan diselesaikan karena semua manusia pada hakikatnya menghendaki perdamaian.

 

  1. I.       DAFTAR PUSTAKA

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007

David Jary dan Julia jary, Sosiology Dictionary, New York: HarperCollins, 1991

Fred. Schwarz, You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs. 1960

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 6th Edition, Jakarta: Kencana. 2008

Lewis Coser, Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. 1967

Lewis Coser, the Function of Social Conflict. New York: Free Press. 1956.

Margaret. M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1994

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008,

Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. 1959

Tom Bottomore, dkk. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. 1979

Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006

http://riostones.blogspot.com/2009/05/manajemen-konflik.html

Manajemen Konflik: Definisi dan Teori-teori Konflik

 

 

 

 

 


[1] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. Hlm. 54

[2] Fred. Schwarz, You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs. 1960. Hlm. 71

[3] Tom Bottomore, dkk. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. 1979.  Hlm. 34

[4] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,  2008,  Hlm. 746

[5] David Jary dan Julia jary, Sosiology Dictionary, New York: HarperCollins, 1991,  Hlm. 76

[6] David Jary dan Julia jary, Op.Cit, Hlm. 77

[7] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006. Hlm 108

[8]Wardi Bachtiar .Op.Cit. Hlm. 110-111

[9] Ibid, Hlm. 112

[10] Ibid, Hlm. 113

[11] Wardi Bachtiar , Lok.Cit, Hlm. 115

[12] Lewis Coser , The Function of Social Conflict. New York: Free Press. 1956.  Hlm. 151-210

[13] Margaret. M. Poloma,. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1994.  Hlm. 113-120

[14] Lewis Coser, Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. 1967.  Hlm. 32-70

[15] Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. 1959. Hlm. 142-189

[16] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  Modern Sociological Theory, 6th Edition, Jakarta: Kencana. 2008, Hlm. 154.

[17] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Op.Cit. Hlm. 154

[18] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Op.Cit. Hlm. 154-157-158